Pura-pura Cantik Itu Melelahkan




Ada masa, ketika itu saya kurus, hitam, jangkung, ngga cantik, ngga fashionable, ngga punya duit pula. Dan di sekolahan cuma jadi 'keset' teman se-geng yang putih, cantik dan menjadi junjungan. Ngga salah kalo akhirnya ter-mind set di otak saya, ooh...kalo ingin 'disukai' banyak orang, harus putih dan cantik ya?! Jadi, saya harus mengikuti standar orang lain, supaya disukai orang-orang. 

Dan, percayalah... Itu syapek lahir batin. Duit ngepas, hanya cukup buat naik angkot ke sekolah dan jajan soto di kantin. Dapat uang dari mana untuk mempercantik diri?! Beli Chitato aja seminggu sekali, supaya uang jajan bulanan ngga habis duluan. Di saat kondisi fisik dan dana tidak mendukung, tapi ngebet banget pengen cantik seperti standar orang, jadinya malah minder dan mengutuk kehitaman diri ini. "Kenapa saya ngga putih sih?! Coba kalo saya putih pasti cantik, ngga terlihat buluk seperti ini, dst..." Adanya cuma menyesali kondisi fisik. 

Yaaa...bukan salah saya sepenuhnya juga kan, karena orang-orang juga membuat standar penilaian  begitu. Putih = bersih = cantik. Dan pernah ngga sampeyan di pandang 'agak gimanaaa' gitu, seperti diremehkan, hanya karena sampeyan berkulit sawo matang? Dulu saya sering merasakan itu. Bahkan sampai kuliah, teman-teman saya yang putih, akan mendapat apresiasi lebih baik. Apalagi kalo berbaju seksi 😆

Selama puluhan tahun hidup, saya sertai dengan ikhtiar untuk memutihkan kulit. Karena melihat model-model atau selebgram sukses itu berkulit putih bersih. Namanya aja model... Model ya berarti rujukan, contoh. Seolah mengatakan "cantik tuh seperti iniii..." Saya berusaha keras menutupi semua kekurangan wajah saya. Gimana caranya lingkar hitam mata ini hilang, pori-porinya mengecil, kalau perlu tanpa pori-pori, noda-noda hitam karena flek atau bekas jerawat bersih, minyak wajah jadi kering, bibir hitam jadi pink, kulit jadi putih, mata lebar dan belo jadi sipit hooded aja, hidung juga kecil aja, jangan sebesar ini, dll. Ewuh dewe kan?! Akhirnya perawatan. Jadi putih bersih wajahnya. Dan dibilang cantik oleh orang-orang... Trus seneng deh akutu, lalu berusaha mati-matian untuk terus menjadi yang seperti orang inginkan/standarkan. Sampai pernah, saking sudah tertanam di otak, akutu (harus) putih,  pede banget beli foundation yang shade ivory. Dikasih shade beige sama mba BA nya, tetap kekeuh ambil yang ivory. Ketika di coba di rumah, yo jelas topeng monyet lah. Jadi assy, abu-abu gitu. Akhirnya beli lagi, yang shade beige 🙁 

Sejak itu saya mulai mikir, ternyata mau usaha seperti apa juga, kulit asli saya sawo matang. Saya selalu mengira (saking obsesifnya mungkin), bahwa kulit saya ini fairy. Bukan caramel, apalagi dark brown. Dan yang lebih wagu lagi, kalo ketemu orang yang kulitnya putih, merasa rendah diri. Saya dulu tuh ketempelan apa coba, bisa bahlul akut seperti itu...🙁 Lha apa hubungannya warna kulit dengan harkat martabat?! Kok bisa membuat saya seketika merasa jadi manusia kelas dua hanya karena kulit saya sawo matang?! 

Akhirnya, setelah capek lahir batin karena pura-pura cantik setiap hari, hands up! Yo uwes, kulit saya sawo matang, punya pori-pori besar, punya lingkar hitam mata, bintik milia di sekitar mata, punya mata lebar dan belo, punya noda-noda hitam yang lama pudar, punya bibir gelap, dll. Saya beli BB Cream Wardah Everyday shade natural, ternyata cocok banget, sama seperti warna kulit saya dan hasilnya malah bagus, dibanding kalo saya pakai BB cream yang setingkat lebih terang. Saya jadi mulai menyukai warna kulit saya. Karena dulu-dulu sukanya pakai shade yang lebih terang, supaya terlihat lebih putih bersinar gitu. Lah ternyata, pakai shade yang sesuai warna kulit saya sendiri malah lebih bagus. Auranya keluar (omonganku dw nek iki) 😆 

Lalu persoalan mata saya yang lebar ini. Waktu belajar eyeshadow, saya jadi sadar, bahwa bentuk mata saya paling enak untuk belajar eye make up. Karena lebar, dan crease-nya jelas terlihat. Pokoknya lebih gampang diolah. Pakai eyeliner juga ngga tricky. Sejak itu saya semakin menyukai diri saya apa adanya. Lingkar hitam mata kelihatan yo ben. Noda hitam tidak tercover bb cream yo ben, bibir hitam yo ben... Dan sekarang saya cenderung menyukai dandanan yang menunjukkan bahwa saya masih manusia biasa, bukan Barbie. Dandan tapi tidak terlalu cover/menutupi kekurangan. Pori-pori, noda hitam, lingkar hitam, yowes biarin aja terlihat. Kalo edit foto juga malah saya 'gelapkan'. Jadi kurang suka kalo terlihat putih. Efek positifnya, ketika saya mulai mencintai diri saya apa adanya, menunjukkan jujur kekurangan saya dan saya menerima itu, saya merasa hidup lebih ringan. Dan, saya malah merasa cantik maksimal, cantik tanpa tendensi. Kemarin waktu wajah saya putih bersih memakai krim dokter, yo merasa cantik. Tapi tidak semaksimal sekarang. Ternyata intinya itu tadi...mau menerima diri sendiri dan mencintai diri sendiri, otomatis kecantikan naik beberapa level, tanpa usaha keras dan keluar uang banyak. Wis ngga peduli lagi standar kecantikan dari orang lain. Saya sudah punya standar kecantikan sendiri, cantik..yo aku iki. 

Kalau sekarang saya menjumpai orang yang takut kepanasan kulitnya hitam, memandang remeh orang yang berkulit sawo matang, pokoknya menjadikan warna kulit sebagai salah satu sebab ketidaksukaan dia, saya cuma bisa membatin, "Oohh yooh. Baru sampai di situ level pemikiranmu..." Ngga bisa dipaksa, karena perubahan cara pandang juga butuh proses dan kesadaran diri. Cuma, yang perlu kita tanamkan pada diri sendiri adalah, dengan warna kulit apapun, kita adalah manusia kelas VVIP. Kalau sudah bisa pede dan mencintai diri sendiri, meningkat menjadi manusia kelas eksekutif.

Salam hormat untuk semua perempuan berkulit sawo matang. You are beautiful and you are worth it.. 


Komentar